Dibalik Gunung Sampah

Foto: M. Nurifan Anwar

Jakarta, BeriTanya-- Tumpukan sampah di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang tidak hanya menyimpan barang-barang terbuang, tetapi juga menjadi saksi bisu dari perjuangan hidup seorang pengepul bernama Edi. Edi, seorang pria berusia paruh baya dengan mata yang mencerminkan keteguhan hati, bukan hanya mencari harapan di setiap karung sampah, tetapi juga berusaha membangun masa depan untuk anaknya, Rizki.

"Rizki, bangun, ayo nimbang angkat karung lagi," panggil Edi dengan lembut sambil menepuk pelan pundak anaknya yang masih terlelap tidur di samping gubuk. Rizki, seorang bocah berusia 12 tahun dengan senyum polosnya, segera melompat dari kasur tipis yang terletak di pojok kecil gubuk mereka.

Setiap langkah Edi di TPST Bantar Gebang terasa seperti perjuangan. Meski tak lagi muda, langkahnya penuh ketabahan menuju medan pekerjaannya. Bersama Rizki, mereka menyusuri jalanan yang tercipta di antara tumpukan sampah yang tinggi. Percakapan di antara mereka, seperti melodi lembut yang melibatkan hati, terdengar di tengah bisingnya suara tukang sampah yang sedang sibuk.

"Pak, ini udah bisa diangkat ke mobil?" tanya Rizki sambil menatap mata sang ayah dengan penuh cucuran keringat.

"Ya, kamu angkat sana ke mobil, pelan-pelan ya kalo cape nanti lagi aja," jawab Edi dengan senyum penuh harapan. Rupanya karung-karung yang berisi sampah tersebut sudah dipisahkan antara yang bisa didaur ulang dan tidak. Jika sudah ditimbang, akan dibawa ke mobil untuk di kirim ke tempat daur ulang kerajinan.

Namun, di tengah kehidupan yang sudah cukup sulit, cobaan yang lebih berat sedang dialami oleh Edi. Ia, baru-baru ini didiagnosis menderita diabetes. Kabar itu menjadi batu loncatan menuju rasa putus asa bagi Edi. Namun, di matanya yang redup terpancar tekad untuk tetap bertahan dan melindungi keluarganya.

Ketika matahari hampir mencapai puncaknya, Edi dan Rizki kembali ke gubuk mereka, membawa hasil tangkapan hari itu. Meskipun hanya beberapa barang yang berhasil mereka kumpulkan, tetapi setiap langkah kecil menuju kehidupan yang lebih baik terasa begitu berarti.

"Rizki, tolong bersihkan ini. Nanti kita jual besok," pinta Edi sambil menyodorkan beberapa barang yang masih layak pakai.

"Ya, Pak!" sahut Rizki sambil bersemangat. Dia tahu bahwa setiap langkah kecil mereka menuju perubahan adalah suatu bentuk cinta dan ketabahan.

Sementara itu, di sudut gubuk yang sederhana, Edi yang kini tidak bisa bekerja normal seperti dahulu lagi sedang berbaring istirahat lemah. Wajahnya yang dulunya penuh semangat, kini terlihat lesu. Diabetes telah merenggut energi dan kebahagiaan dari kehidupannya. Edi duduk di samping tempat tidur istrinya, memandanginya dengan penuh kekhawatiran.

"Gimana kakinya, Pak?" tanya Neni istri Edi dengan suara lembut. Edi tersenyum tipis. "Masih sakit sedikit, tenang aja gapapa”. Neni tersenyum.

Sakit pada kaki memang sering dirasakan oleh penderita penyakit diabetes, kini pekerjaan Edi pun sudah mulai digantikan oleh Rizki.

Namun, Edi tahu bahwa di balik senyum istrinya itu, terdapat rasa ketidakpastian dan kekhawatiran. Edi minum obat yang sudah diberikan dokter berharap penyakit ini akan segera sembuh dari dirinya.

“Coba tolong angkat kesini” Ujar Edi, sambil pelan-pelan dengan muka yang memerah, Rizki mengangkat karung yang berisi tumpukan sampah untuk ditimbang. Rizki kembali mengambil beberapa tumpukan yang belum diangkutnya.

Memang setiap harinya, Pak Edi bersama anaknya Rizki, menjelajahi lautan sampah untuk mencari barang-barang yang bisa dijual kembali. Matahari terbenam menyaksikan perjuangan mereka, namun langit yang perlahan gelap tak menghentikan semangat yang menyala di dalam hati mereka.

Di antara debu dan bau menyengat, Rizki, anak remaja yang polos, tetap tersenyum di samping ayahnya. Setiap kardus yang diangkatnya, setiap botol yang disusunnya, adalah harapan untuk hari esok yang lebih baik. Meski seringkali terlihat lelah, Rizki tidak pernah berhenti bermimpi tentang pendidikan yang lebih baik dan hidup yang lebih layak.

Namun, di balik senyum itu, ada kepedihan yang tak terungkap. Pak Edi dan Rizki, seperti pahlawan tanpa panggung, berjuang melawan kemiskinan dan ketidakpastian. Meski berada di tengah keterpinggiran, mereka terus bertahan dengan keyakinan bahwa setiap barang yang mereka kumpulkan adalah langkah menuju harapan yang menyala-redup.

Ketika hujan turun, tanah berubah menjadi lumpur, dan tumpukan sampah semakin sulit dijangkau, Pak Edi dan Rizki tetap bertahan. Mereka adalah pelipur lara yang tak pernah berkeluh kesah di tengah derasnya kesulitan. Setiap pecahan kaca yang mereka kumpulkan menceritakan kisah perjuangan mereka yang penuh kepahitan, tetapi di balik itu, ada kekuatan yang tak tergoyahkan.

Pak Edi dan Rizki, dua sosok di balik tumpukan sampah, mengajarkan kita bahwa perjuangan tak selalu bergaung meriah, tetapi terkadang ditemukan dalam setiap langkah tak pasti yang diambil di tengah kesunyian Bantar Gebang. Keberanian mereka meresapi setiap serpihan kehidupan yang mereka hadapi, dan di antara limbah, mereka menemukan arti dari kehidupan yang sulit mereka emban.

M. Nurifan Anwar

Halo, Perkenalkan Saya M. Nurifan Anwar, mahasiswa semester 5 program studi Jurnalistik di Politeknik Negeri Jakarta, Depok. Dari pengalaman organisasi dan profesional saya, saya merasa memiliki sifat optimis dan kreatif yang membantu saya menjadi orang yang cepat belajar dan juga melatih keterampilan komunikasi saya. Minat saya terkait dengan menulis kreatif, komunikasi, produksi siaran, dan media sosial. Saya mahir dalam penggunaan Adobe Creative Suite dan Microsoft Office Suite.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama